Senin, 13 Agustus 2012

EndLess Love


 #Prolog#

Hidup itu penuh cinta... Cinta itu penuh pengorbanan.. Berarti hidup itu butuh pengorbanan... Tidak ada yang bisa kita lakukan jika kita tidak mau berkorban.. Meskipun pengorbanan itu akan membuat kita kehilangan.. Kita harus memilih keputusan yang terbaik.. Itulah cara kita hidup di dunia ini..
Tuhan punya cara tersendiri untuk membuat hidup kita lebih berwarna .. Tuhan punya rencana khusus bagi kita dalam melewati hidup ini.. Entah senang, sedih, susah, gembira.. Tuhan telah mengaturnya dengan segala Kekuasaan-Nya..
Dan jangan pernah menyesal menjalani hidup di dunia ini... Lakukan yang terbaik untuk hidupmu ini.. Walau kau harus kehilangan nyawamu sekalipun, asal itu bisa membuat tujuan hidupmu terpenuhi.... Lakukanlah...


_.Ayumi Kuran._



#Bab Satu #
Suara motor menderu keras. Memecah keheningan malam di tengah jalanan kota yang mulai sepi. Beberapa puluh orang berderet di tepi jalan, menyoraki dua orang yang sedang beradu kecepatan. Rilo menghisap rokoknya pelan, menikmatinya sekejap lalu menghembuskannya ke udara. Rasa puas menyelimuti dirinya sekarang. Dia baru saja berhasil mengalahkan salah satu musuh bebuyutannya. Diendarkannya pandangan ke sekelilingnya. Beberapa cewek tampak menetapnya sambil tersenyum manis. Rilo mengerlingkan matanya pada mereka.
“Hei, Bos! Selamat ya!” Ujar seorang cowok mendekati Rilo. Seorang cewek juga ikut menguntit di belakangnya.
“Thanks, Bro.” Jawab Rilo seraya tos dengan cowok itu. Mereka berdua asyik mengobrol kesana-kemari melupakan cewek yang ada di dekat mereka. Cewek itu mencolek cowok yang tadi diikutinya. Barulah mereka menyadari kehadirannya.
“Oh iya, Bos, gue sampe lupa. Ada yang mau kenalan nih sama Bos. Biasa anak dari BM.” Ucap cowok itu mengenalkan cewek yang dibawanya tadi. Rilo memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lumayan, bisiknya dalam hati.
“Nina,” Katanya seraya mengulurkan tangannya. Senyum manis juga mengulum di bibir merahnya.
“Rilo.” Jawab Rilo datar dan nyaris tanpa ekspresi. Dijabatnya tangan Nina dengan secepat kilat. Ia tidak ingin berlama-lama dengan yang namanya cewek. Muak. Itulah alasannya.
“Eh udah dulu ya. Gue mau cabut sekarang,” Kata Rilo menyudahi perbincangannya. Segera dihampiri motor kesayangannya dan dilajukannya cepat.
*****

Bayangan kelam masa lalu menyelubungi pikiran Rilo. Broken home, membuatnya menjadi seperti ini. Menjadi arogan, egois, nakal, tidak berperasaan, dan lain sebagainya. Sudah banyak julukan yang ia peroleh dari tingkah lakunya selama ini. Penguasa Jalanan dan Jendral Medan Perang hanyalah segelintir julukan untuknya. Sebutan Playboy-pun juga melekat pada diri Rilo. Sekali jalan dia bisa mendapatkan 3-4 cewek sekaligus. Bagaimana tidak? Rilo itu Mr. Perfect! Dia cakep, tinggi, tubuh atletis, kaya. Kurang apa coba? Diduakan, ditigakan, sampai diempatkan-pun para cewek-cewek itu mau asal bisa pajang status sebagai ceweknya Rilo.
Rilo sendiri sebenarnya tidak menganggap mereka sebagai pacarnya. Dia tidak punya perasaan apapun pada mereka. Just for fun! Rasa sakit yang menduduki hatinya juga salah satu alasan kenapa Rilo suka mempermainkan cewek.
Mata Rilo menerawang. Pikirannya terbang jauh mengkhayalkan sesuatu. Andai kalian tahu apa yang aku rasakan,batinnya. Tanpa disadarinya, sebuah truk melaju dari arah yang berlawanan dengan Rilo. Tersentak kaget Rilo membanting setirnya menghindari truk itu. Braak! Rilo menghantam keras sebuah pohon di tepi jalannya. Pandangannya kabur. Hal terakhir yang diingatnya hanyalah seorang gadis yang berlari menghampirinya. Lalu gelap.
*****

Sang aruna malu-malu muncul dari ufuk timur. Membangunkan ilalang dan serangga dari mimpi indahnya. Menerobos celah-celah bingkai jendela, berusaha menyentuh paras-paras wajah yang tertidur nyenyak. Rilo menggeliat di tempat tidur, cahaya matahari membuatnya terpaksa membuka mata. Selama beberapa detik dipandanginya sekeliling tempatnya berada.
“Dimana nih?” Tanyanya begitu sadar kalau ini bukan kamarnya.
“Kamu udah bangun?” Tanya seseorang. Rilo menoleh ke arah asal suara itu. Seorang cewek sedang sibuk melukis di pojok kamar ini. Ia duduk membelakangi Rilo, sehingga menyulitkannya untuk mengetahui wajah cewek itu. “Syukurlah akhirnya kamu sadar juga. Udah satu hari ini kamu nggak bangun-bangun, aku sampai khawatir mikirin kamu.” Ucap cewek itu lagi. Rilo mengerutkan keningnya. Rasanya ia tidak mengenal cewek ini.
“Kamu siapa?” Tanya Rilo. Cewek itu menaruh kuas dan cat minyaknya di meja. Lalu membalikkan tubuhnya memandang Rilo dan tersenyum. Senyum paling cantik yang pernah dilihat Rilo.
“Aku yang nolongin kamu pas jatuh,” Katanya seraya mendekati Rilo. “Namaku Ayumi Kuran.” Sebuha tangan terulur manis ke hadapan Rilo.
“Rilo Davichio.” Jawabnya sambil menjabat tangan Ayumi. Sebuah lesung pipi muncul di pipi kanan Ayumi. Membuat senyumnya terlihat semakin cantik. Entah kenapa Rilo merasa ada perasaan aneh yang muncul dalam benaknya. Hangat juga diam-diam menjalar di kedua tangan yang saling menyatu itu. Tapi Rilo mengabaikannya, diusirnya jauh-jauh pikirannya itu.
“Thanks udah nolongin gue.” Ucap Rilo akhirnya.
“Iya, sama-sama. Aku seneng kok bisa nolong kamu.” Jawab Ayumi lembut. Cantik, baik, lemah lembut, bagaikan bidadari yang turun dari langit. Itulah kesan pertama Rilo untuk Ayumi.
*****

“Bos, Bos kemana aja nih? Masa’ abis settingan langsung ngilang dua hari? Kita ‘kan bingung nyari Bos.. Eh tangan Bos kenapa tuh? Kok bisa biru-biru gitu sih, Bos? Bos abis ngapain aja?” Cerocos Ryan, salah satu anak buah Rilo.
“Ah banyak bacot lu! Udah diem sana, jangan banyak komentar! Ada berita apa aja selama gue gak ada?”
“Itu tuh, Bos, si Alim kemaren dikeroyok sama anak geng NB.”
“Emang punya salah apa dia sampe berurusan sama mereka? Bukannya dia yang paling diem di geng kita?”
“Lha iya itu, Bos, tuh anak dituduh ngerebut ceweknya anggota NB. Mereka sih ngomongnya si Alim main serobot terus ngajakin cewek itu jalan sampe malem.”
“Trus kalo si Alim dia bilang apaan?”
“Dia bilang dia itu nggak salah. Dia nggak pernah ngerebut cewek itu. Kalo gue sih, Bos, gue lebih percaya sama si Alim karena gue tau gimana sifatnya dia. Dia nggak mungkin ngelakuin gituan. Apalagi pas kejadian itu dia lagi sama gue.”
“Cari gara-gara rupanya anak buah NB.”
“Apalagi ternyata barang-barangnya si Alim juga diambil sama tuh anak. Dasar si Alimnya kaga’ bisa ngelawan, dia kasih aja semua uangnya.”
“Bodo banget sih tuh anak?! Sekarang lu kumpulin anak-anak. Kita samperin markasnya NB!” Perintah Rilo dengan penuh emosi. Bagaimanapun juga, ia tidak terima bila salah satu anak buahnya dituduh yang bukan-bukan. Apalagi itu anak buahnya yang paling nggak bisa ngapa-ngapain lagi! Penindasan itu namanya!

*****

“Heh yang namanya Wildan! Keluar lo!” Teriak Rilo begitu sampai di markas geng NB. Suara motor yang meraung-raung diikuti kepulan asap knalpot membuat suasana semakin terasa panas.
“Wey, welcome to my house, Bro. Ada apa nih tumben mampir ke sini?” Ucap ketua geng NB santai.
“Mana yang namanya Wildan?”
“Ada urusan apa lo sama anak buah gue?”
“Gue mau nuntut balesan sama dia! Lu sebagai ketua geng harusnya lu ajarin donk ke anak buah lu itu. Jangan suka nuduh orang sembarangan. Pake acara ngerampoksegala. Gak etika banget.” Ucap Rilo. Beberapa anak buah geng NB keluar dari markas mereka.
“Bos, itu yang namanya Wildan. Dia yang pake kaos oblong abu-abu sama topi putih.” Bisik Ryan pelan di telinga Rilo. Segera setelah menemukan sosok yang dicarinya, Rilo melangkah maju, mendekati cowok yang bernama Wildan itu. Buuk! Sebuah pukulan keras mendarat di mata kiri cowok itu.
“Apa-apaan nih? Siapa lo?” Tanya Wildan kaget dengan perlakuan Rilo padanya.
“Gue ketua HDN yang kemaren lu gebukin anak buahnya.”
“Oh si cecunguk itu? Jadi lo Bos-nya? Pantes aja dia cemen, Bos-nya aja juga cemen!” cemooh Wildan dengan nada seperti tak bersalah.
Amarah Rilo semakin naik dan memuncak. Ucapan Wildan seperti tamparan keras di telinganya. Tangannya mengepal kuat, dilayangkannya pukulan kerasnya pada Wildan. Baku hantam tak terelakkan lagi. Tawuran dua geng ini pun tak bisa dihindari lagi. Rilo sudah berada di garis depan, ia sudah mengalahkan lima anak buah geng NB.
Tanpa diketahui Rilo, salah satu anak buah NB mengeluarkan senjata tajamnya dan menerobos mendekatinya. Rilo yang tidak fokus pada orang itu langsung mendapat luka panjang dari sayatan pisau yang menyentuh tangannya. Sial! Umpat Rilo dalam hati. Tapi luka itu tidak membuatnya berhenti dari tawuran ini. Melihat ketuanya terluka, beberapa anak buah Rilo langsung melindunginya. Tapi sirene polisi membuyarkan konsentrasi mereka. Mereka kalang kabut berusaha melarikan diri, termasuk Rilo. Entah yang merasuki pikirannya saat itu, tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ayumi. Ya, takdirlah yang mempertemukan mereka lagi.

 *****

#Bab Dua#

“Sini biar aku obatin,” Ucap Ayumi saat bersama Rilo di rumahnya. Cowok itu hanya meringis menahan rasa sakitnya. Dengan hati-hati ditempelkannya betadine ke luka di lengan kanan Rilo. “Sakit ya?” Tanyanya.
“Hehe, dikit kok.” Jawab Rilo. Dilihatnya sayatan panjang yang menghiasi lengannya.Untung gak dalem, katanya dalam hati. Ayumi mengobati luka-lukanya dengan sangat lembut, seperti takut akan menyakitinya. Rilo tersenyum. Tak pernah ada yang se-perhatian ini padanya. Tapi cewek ini, ia terasa begitu berbeda. Kalau cewek lain baik padanya karena menginginkan suatu hal, Ayumi tidak. Dia tulus padanya. Begitu polos dan lugu.
“Ayumi..”
“Hemm? Kenapa? Ada apa?”
“Mau gak kamu jadi temenku?”
“Tentu saja.” Jawab Ayumi sambil tersenyum. Ayumi merasa sangat bahagia. Baru kali ini dia merasakan perasaan yang seperti ini. Rilo, nama itu terus terngiang di pikiranAyumi. Cowok itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang setiap bertemu.

*****

Ayumi : Rilo, kamu ngapain? Udah makan?
Rilo : Nongkrong sama anak-anak, Mi. Udah kok.
Ayumi : Em, ya udah..
Rilo : Ayumi ngapain? Kok malem-malem gini belum tidur?
Ayumi : Habis terapi, Lo.
Rilo : Terapi?
Ayumi : Iya. Udah dulu ya, Lo. Aku mau tidur. Met malem..
Rilo : Met malem juga .. Have a nice dream, Ayumi.
  Rilo tersenyum memandangi handphone-nya. Rasa bahagia menyelimuti hari-harinya kini. Tadi adalah percakapan via sms antara ia dan Ayumi. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan Ayumi. Ayumi, orang yang membuatnya terasa berbeda.
“Ceilah si Bos senyam-senyum aja. Pasti gara-gara Ayumi lagi.” Celetuk Keceng melihat tingkah Rilo.
“Apaan sih lu !”
“Bos sekarang udah mulai berubah ya, jarang marah-marah , jarang mabuk, udah sering pulang ke rumah daripada ke sini. Udah beda deh Bos sekarang.”
“Masa’ sih?”
“Iya. Sejak Bos kenal Ayumi, Bos jadi gitu. Tapi kita semua seneng kok sama perubahan Bos. Bos bener-bener seorang pemimpin yang kita butuh. Bos bisa ngertiin temen, solidaritas tinggi. Wah pokoknya makin sip deh Bos sekarang!” Cerocos Keceng panjang lebar. Sebuah botol bekas minuman air mineral mendarat mulus di kepalanya. Membuatnya mengaduh kesakitan.
Memang benar yang dikatakan Keceng. Ada yang berubah dalam diri Rilo sejak mengenal Ayumi. Ayumi yang hangat bagaikan mentari mencairkan Rilo yang sebeku es kutub.

*****

Ayumi memandangi dirinya dalam cermin. Dia sedang bersiap-siap untuk pergi dengan Rilo. Setelah menyapukan bedak tipis ke seluruh wajahnya, dioleskannya lipgloss ke bibir mungilnya. Kemudian disisirnya rambut panjangnya pelan. Beberapa rambut yang rontok membuatnya tertegun.
Sudah separah inikah aku? Apakah sebentar lagi mata ini akan tertutup? Batinnya. Air mata mulai menetes dari mata sipit Ayumi. Memikirkan kembali tentang dirinya saat ini membuat dadanya terasa sesak.
Suara raungan motor membuatnya kembali tersadar. Itu pasti Rilo, ucapnya dalam hati. Segera dihapusnya air mata yang masih menempel di wajah ayunya. Disambarnya tas kecil dan ia segera berlari menghampiri Rilo.
“Hai,” sapa Rilo begitu melihat Ayumi muncul dari dalam rumahnya.
“Hai juga.”
“Udah siap ‘kan?” tanyanya lagi. Ayumi mengangguk mantap. “Yok berangkat.” Ucap Rilo sebelum mereka pergi.

*****

#Bab Tiga#

Rilo sangat bahagia malam ini. Ya, bahagia karena ia bisa melewatkan satu malam dengan Ayumi. Ia mengajaknya makan malam di sebuah bukit yang telah dirancangnya. Rilo tidak dapat melupakan senyum Ayumi yang tak kunjung pudar saat bersamanya. Apalagi Ayumi terlihat sangat cantik tadi. Ia juga teringat percakapannya dengan Ayumi saat di bukit.
“Rilo, aku boleh tanya sesuatu gak?”
“Boleh, tanya apa?”
“Tiap orang di dunia ini, pasti punya tujuan hidup. Mereka punya impian yang pasti ingin dicapai selama mereka hidup. Kalau Rilo, tujuan Rilo hidup apa?”
“Tujuan hidupku?” Rilo terdiam sebentar. “Kalau aku sih aku cuman pengen bahagia, Ayumi.”
“Bahagia?”
“Iya, aku cuman pengen hidup tentram, damai, bahagia sama orang yang aku sayang.”
Memang, itulah impian Rilo dalam hidup ini. Semenjak kedua orang tuanya sering bertengkar di rumah dan akhirnya bercerai, ia hanya menginginkan itu. Hanya itu.. Jujur dan tulus dari dalam hatinya.

*****

Ayumi termenung sendiri. Memikirkan semua yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tentang hidupnya yang monoton, lalu sesuatu yang menggerogoti darahnya, terapi terapi yang dijalaninya. Dia memang ingin terus berjuang , tapi waktu sudah tak mengijinkannya. Di sisa-sisa waktu yang dimilikinya, Ayumi bertemu dengan Rilo, seseorang yang entah kenapa terasa berbeda bagi Ayumi. Dia tidak pernah menemukan seseorang seperti Rilo. Orang yang arogan, penuh emosi, tapi juga sangat solidaritas pada teman. Dia punya masa lalu kelam yang tak pernah Ayumi alami.
Mengingat Rilo, ia jadi ingat tentang impian cowok itu. Bahagia. Ya , Cuma itu. Dari sekian banyak orang-orang yang menginginkan banyak hal dalam hidup ini, dia hanya ingin bahagia. Tidak muluk-muluk, tidak juga terlalu tinggi impiannya, hanya sederhana saja.
Ayumi tahu siapa Rilo, orang yang memiliki segalanya. Orang yang memiliki segudang julukan karena perilakunya. Penguasa Jalanan, Jendral Medan Perang, Playboy, dan lainnya. Ayumi sadar Rilo berbeda dengan dirinya. Kenakalan remaja yang menguasai Rilo, kehidupan penuh tantangan yang dijalaninya, sangat bertolak belakang dengan hidupnya yang seperti ini. Hanya makan minum, jalan-jalan, terapi, tidak boleh terlalu capek. Sungguh ia merasa muak dengan jalan hidupnya ini.
Kadang Ayumi merasa kalau dia tidak berguna, tidak bisa melakukan apapun untuk orang lain. Tidak bisa sekolah, tidak bisa membanggakan orang tuanya dengan prestasi, tidah bisa membuat mereka tersenyum. Yang ada hanya membuat mereka khawatir dengan penyakit yang dideritanya. Ayumi ingin sekali saja merasa berguna untuk orang lain. Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa aku lakukan? Tanya Ayumi dalam hati. Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikirannya.
“Bahagia..” gumamnya pelan.

*****

Rilo berdiri di samping motornya. Tangannya menggenggam erat sebuah tongkat kayu. Dipandangnya musuhnya dengan tatapan tajam. Amarah sedang merajai hati dan pikirannya. Hari ini gengnya bertemu dengan geng LAC. Permasalahan yang terjadi diantara keduanya membuat suasana diantara mereka memanas hingga memuncak pada saat ini. Beberapa anak buahnya sedang berbicara dengan beberapa anak buah musuhnya itu. Sedetik kemudian, adu mulut itu berubah menjadi baku hantam kecil. Melihat salah satu temannya dikeroyok, anak buah Rilo maju menyerang. Tawuran! Itulah yang terjadi sekarang. Rilo hanya diam, masih mengawasi dari motornya saja. Dia sedang mengincar seseorang. Matanya berkutat pada gerombolan manusia yang sedang berkelahi itu. Tap! Rilo menemukan orang itu. Segera diterobosnya kawanan tawuran itu dan kini ia sudah berada di depan musuh utamanya.
Raut wajah kaget tampak jelas di wajah musuh Rilo. Rilo tersenyum sinis. Lalu melayangkan pukulan-pukulannya pada wajah musuhnya itu. Tawuran itu semakin lama semakin memanas. Rilo terus menghajar musuhnya itu sampai dia terkapar di tanah. Kini ia merasa menang. Berhasil mengalahkan musuh utamanya selama ini.

*****

“Kamu sudah berulang kali melanggar tata tertib di sekolah ini. Poin kamu sudah hampir 100. Apa kamu sudah tidak niat untuk sekolah di sini? Saya rasa kamu memang tidak pernah kapok untuk melanggar tata tertib sekolah ini.” Kata Kepala Sekolah pada Rilo. Dia sedang mendapatkan ceramah panjang lebar karena lagi-lagi melanggar tata tertib sekolah. Kepala Sekolahnya menghela nafas berat. Seperti sudah lelah menghadapi tingkah Rilo.
“Kamu saya skorsing seminggu, dan kalau kamu melanggar sekali lagi saya keluarkan kamu dari sekolah ini.” Ujar Kepala Sekolah lagi sambil memberikan surat skorsing pada Rilo. Rilo cuek. Tidak peduli dengan ucapan kepala sekolahnya itu. Ia keluar dari ruangan itu dan menuju kelasnya.
Sedang di kelas, teman sekaligus anak buah Rilo sedang berdiskusi tentang nasib Bos mereka itu. Mereka tahu Bos mereka itu sedang dipanggil Kepala Sekolah karena masalah pelanggaran. Keputusan D.O. juga menghampiri Bos mereka. Mereka membuat sebuah kesepakatan, kalau sampai Rilo dikeluarkan dari sekolah, maka mereka juga akan keluar. Mereka tidak akan membiarkan pemimpin yang paling mereka hormati itu dikeluarkan sendirian. Mereka akan terus bersamanya, berada disampingnya dalam suka maupun duka. Solidaritas, kawan!
*****

“Kamu kenapa? Kok tumben gak sekolah?” Tanya Ayumi saat Rilo datang ke rumahnya.
“Aku di-skors.” Jawab Rilo santai.
“Di-skors?” Rilo hanya mengangguk. Ayumi kaget setengah mati. Tak disangkanya Rilo akan sampai di-skors oleh sekolahnya. “Kenapa?” Tanyanya lagi.
“Ya biasa, Mi. Masalah tawuran.”
“Kamu tawuran sampai harus di-skors?”
“Iya.”
“Ya ampun Rilo.. Kamu itu harusnya bersyukur dong bisa sekolah. Masih banyak anak lain yang gak bisa sekolah dan ingin sekolah. Kamu yang punya kesempatan malah menyia-nyiakannya.”
“Iya, Mi. Aku tau kok.”
“Udah deh terserah kalau kamu mau gitu terus. Aku gak mau temenan sama kamu lagi.” Kata Ayumi ngambek.
“Loh, ya jangan dong.. Kamu harus jadi temen aku.. Wajib! Selamanya harus jadi temen aku, Ayumi!”
“Kalau aku gak mau?”
“Harus mau.”
“Maksa.”
“Biarin. Lha aku suka sama kamu kok.”
“Ha? Suka?”
*****

Ayumi masih tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Suka? Rilo? Rilo suka padanya? Apa nggak salah? Ayumi menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha tidak mempercayainya. Nggak, nggak mungkin. Dia nggak boleh suka sama aku, katanya dalam hati.
Air mata Ayumi menetes sekali lagi. Ditekannya kuat-kuat perasaan yang berkecambuk sekarang. Perasaan yang bercampur aduk dalam benaknya membuatnya ingin menangis. Antara senang dan sedih. Hatinya senang karena baru kali ini ada cowok yang mengatakan suka padanya. Tapi Ayumi juga sedih karena ia tahu ia tidak akan bisa membahagiakan Rilo bila cowok itu bersamanya. Itu adalah hal yang paling tidak mungkin ia lakukan. Bersama Rilo hanyalah impian kosong. Tidak akan pernah terwujud.
Tuhan.. Harus bagaimanakah aku? Apa yang harus aku lakukan? Jerit Ayumi dalam hatinya.

*****

#Bab Empat#

“Gue gak bisa, Yan! Gue udah janji sama Ayumi kalo gue gak akan ikut tawuran lagi!” teriak Rilo saat Ryan memintanya untuk ikut tawuran melawan geng BAT.
“Plis, gue mohon Bos! Sekali ini aja! Kelompok kita gak bakalan bisa ngelawan mereka tanpa elu, Bos!”pinta Ryan.
Otak Rilo berusaha berpikir keras. Nasib anak buahnya ada di tangannya sekarang. Ketua geng BAT menginginkan dia turun ke medan perang untuk melawannya. Tapi itu tidak mungkin. Tidak mungkin ia melakukannya sedangkan ia sudah berjanji pada Ayumi tidak akan melakukan tawuran lagi.
Tidak ingin mengingkari janjinya, tapi Rilo juga tidak ingin mengorbankan teman-temannya. Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di otaknya. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Rilo tersenyum puas. Dibisikkannya rencana yang ada di otaknya itu pada Ryan. Ryan mengangguk-angguk setuju. Dia pun segera melaksanakan peritah Bosnya barusan.
*****

“Ayumi, aku minta ijin ya,” Pinta Rilo pada Ayumi saat ia mampir ke rumahnya. Malam itu, ia akan pergi melawan ketua geng BAT. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan adu kecepatan.
“Kamu mau kemana?”
“Aku mau balapan sama musuhku, Mi. Ini demi teman-temanku.” Rilo menceritakan semua yang terjadi pada Ayumi. Ayumi menghela nafasnya. Dia tahu dia harus membiarkan Rilo pergi membela teman-temannya. Rasa solidaritasnya tidak akan bisa dihentikan Ayumi.
“Oke, kamu boleh pergi. Tapi aku ikut ya?”
“Kamu ikut?” tanya Rilo tidak percaya. Ayumi mengangguk.
“Aku ingin melihat kamu waktu settingan. Boleh ‘kan?”
“Baiklah. Tapi nanti kamu ditemani anak buahku ya, mereka baik kok.” Ayumi mengangguk sekali lagi. Entah apa yang sedang diinginkannya. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya.
*****

“Jadi kamu cewek yang udah berhasil bikin Bos berubah?” tanya Ryan saat bersama Ayumi. Dia dan Keceng ditugaskan Rilo untuk menjaganya. Ayumi hanya tersenyum.
“Ternyata memang cantik, baik lagi. Pantes Bos kecantol.” Celetuk Keceng.
Balapan sudah akan dimulai. Ayumi berdiri di tepi jalanan deng tetap ditemani Ryan dan Keceng. Ditatapnya Rilo yang sudah bersiap di tengah jalan dengan motor kesayangannya. Ayumi memberikan senyumnya dan Rilo pun membalasnya.
“Kamu harus menang ya!” ucap Ayumi tanpa mengeluarkan suara. Rilo hanya mengangguk menjawabnya.
Bersamaan dengan saputangan yang terbang melayang di udara, kedua motor itu melaju dengan kecepatan tinggi. Rilo berhasil memimpin lebih dulu, tapi persaingan sangat ketat. Berkali-kali musuhnya berhasil mendahului Rilo. Tapi Rilo terus berusaha menjadi yang terdepan. Demi harga dirinya. Demi nasib anak buahnya. Demi Ayumi yang menantinya.

*****

“Makasi, Bos! Berkat Bos kita semua selamat dari ancamannya BAT.” Ucap Ryan saat Rilo sudah menyelesaikan balapan. Rilo menang, dan disambut sorak gembira anak buahnya.
Rilo tidak menggubris ucapan Ryan ataupun yang lain. Pandangannya tertuju pada Ayumi. Ia sedang berdiri sendiri disamping sebuah pohon.
“Selamat ya, kamu akhirnya menang.” Ucap Ayumi saat Rilo menemuinya.
“Ini ‘kan berkat kamu juga Ayumi.”
“Kok aku?”
“Iya, karena ada kamu di sini makanya aku jadi semangat dan bisa menang.”
“Ah kamu bisa aja, Lo.”
Tawa menderai dari dua anak Adam dan Hawa ini. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Anak buah Rilo pun ikut bergabung dengan mereka. Sebuah kehangatan hubungan muncul diantara mereka semua. Hingga tiba saat Ayumi melihat suatu kejanggalan.
Ayumi melihat mata yang menatap tajam ke arah seseorang yang ada dihadapannya. Mata itu adalah mata yang penuh amarah kebencian. Dilihatnya orang itu mengeluarkan sebuah benda. Ayumi ingin mengatakannya, tapi suaranya tak terdengar sama sekali. Yang dilakukannya kemudian, sungguh tidak pernah disangka oleh semua orang. Termasuk oleh Rilo.

*****

Rilo menatap hampa tanah yang ada di depannya. Kesedihan dan rasa kehilangan masih menyelimuti tubuh sepinya. Tanah ini masih basah, masih tercium bau wangi bunga yang tertabur di atasnya. Disentuhnya batu nisan di hadapannya ini dengan sangat lembut.


AYUMI KURAN
Lahir : 23 Oktober 1994
   Wafat: 05 Juni 2011


Tetes-tetes air mata mengalir dari mata Rilo. Ia tidak menyangka bahwa ia akan ditinggalkan oleh Ayumi. Bahkan sebelum sempat ia mengatakan perasaannya pada cewek itu. Cewek yang diam-diam menempati hatinya. Rilo merasa bersalah ketika ia ingat kejadian di malam itu. Kejadian yang membuat ia kehilangan Ayumi untuk selamanya.
Ayumi berjalan ke arah Rilo. Lalu menukar posisinya dengan Rilo secepat kilat. Rilo tidak mengerti apa maksud Ayumi. Tapi sedetik kemudian.. Door! Sebuah tembakan melesat cepat ke arah Ayumi dan tepat mengenai punggungnya. Rilo tersentak kaget. Ditangkapnya tubuh Ayumi yang limbung. Anak buah Rilo yang tahu itu perbuatan BAT segera mengurusnya.
Ayumi.. Ayumi..” Teriak Rilo parau. Kalut menghampiri hatinya. Takut terjadi sesuatu dengan Ayumi.
Rilo...” Ucap Ayumi dengan nafas terengah-engah. “Makasi selama ini kamu udah temenin aku.. Udah menghiasi hari-hari terakhirku...” Ayumi berhenti berbicara sebentar. Diambilnya nafas yang mulai sulit masuk ke dalam tubuhnya.”Maaf aku nggak bisa berguna buat kamu... Cuma ini yang bisa aku lakuin buat kamu, Lo..”
Sssttt..... Udah jangan ngomong apa-apa lagi..” Pinta Rilo. Ayumi menggeleng keras.
Aku harus mengatakan ini sekarang... Kalau enggak, aku akan menyesal... Aku.. Aku sayang kamu Rilo.. Aku nggak menyesal melakukan ini untuk kamu.. Aku bahagia bisa berguna buat kamu di saat terakhirku.. Aku sayang kamu tulus dari hatiku..”

Kalimat terakhir itu terus terngiang di pikiran Rilo. Apalagi ibu Ayumi menyerahkan buku diary Ayumi padanya. Katanya, itu adalah permintaan terakhir dari Ayumi menjelang hari-hari terakhirnya.
Dari buku itu Rilo tau semuanya. Perasaan Ayumi padanya, penyakit yang dideritanya, yang tak pernah diketahuinya. Ayumi menderita Leukimia stadium akhir. Terapi-terapi yang telah dijalaninya hanya mampu menghambat pertumbuhan penyakitnya, bukan menyembuhkannya. Rilo menyesal tidak pernah tahu tentang kehidupan Ayumi. Rasa bersalahnya juga makin besar saat ia membaca tulisan terakhir dari Ayumi di diary-nya.

Aku pernah berkata..
“Dalam hidup ini, kita pasti punya tujuan hidup.. Nggak tua, nggak muda, pasti mereka punya sesuatu yang ingin dicapai..”
Dan aku bertanya pada cowok itu..
“Apa tujuan hidupmu?”
Dia menjawab,”Bahagia.”
Dari ribuan orang , jutaan manusia yang ada di dunia ini, mereka menginginkan hal yang sangat tinggi. Setinggi langit yang ada di angkasa. Tapi dia tidak.. Dia sangat berbeda..
Dia hanya punya impian yang sesederhana itu.. Mendengarnya.. Membuatku menenukan tujuan hidupku...Ya, di ujung waktuku yang kian berkurang ini, aku sudah menemukan apa yang aku inginkan..
Aku ingin mewujudkan impiannya.. Mengabulkan mimpi-mimpinya sebisa mungkin..
Aku ingin berguna.. Aku ingin membuatmu bahagia.. Aku ingin membuat satu-satunya orang yang aku cintai di dunia ini bahagia.. Rilo Davichio.. Kamulah alasan aku hidup di waktu yang kian sempit ini..

Ayumi Kuran Love Rilo Davichio... Forever....

#END#

Jumat, 11 Maret 2011

First Date

First Sight

Namanya Ayusinta. Pertama kali aku melihatnya di kampus temenku, Abi. Waktu itu ada orang di sampingku yang berteriak keras memanggil namanya dan dia menoleh. Entah kenapa sejak hari itu wajahnya nggak mau lepas dari benakku. Tapi sayang, semenjak hari itu juga aku tak pernah punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

*****

Second Sight

Siang ini matahari bersinar amat terik. Untunglah akhirnya aku sampai juga di kampus ini. Sudah lama sekali rsanya aku nggak ke sini. Dengan langkah tegap aku berjalan menyusuri lorong sambil mengenang masa lalu saat aku masih menjadi warga kampus ini. Aku menuju kantin , tempat dimana aku yakin sahabatku , Abi, berada.
Abi itu sebenarnya mahasiswa seangkatan denganku. Tapi karena kurang serius , kuliahnya jadi molor kira-kira satu tahunan. Saat aku sudah di wisuda dan mulai sibuk kerja, dianya malah adem ayem aja jadi mahasiswa abadi sambil ngegodain cewek-cewek mahasiswa baru. Untung aja orang tuanya nggak pernah kehabisan dana buat kuliahin dia.
Setelah aku tebarkan pandangan ke seluruh ruang kanting, akhirnya aku bisa juga temuin dia. Dia terlihat lagi asyik ngobrol sama makhluk cantik di sebuah sudut kantin. Tapi tunggu ..! Wajah makhluk cantik itu sepertinya tak asing buat otakku. Ya itu dia, cewek itu, cewek penghuni benakku. Ayusinta. Dengan langkah lebih yakin aku berjalan menuju meja Abi. Sayang, beberapa langkah sebelum sampai makhluk cantik itu keburu pergi.
“Siapa cewek itu?”tanyaku pura-pura tidak tau sekaligus mencati tau tentang kebenaran nama cewek cantik itu pada Abi.
“O… dia. Namanya Sinta, anak psikologi.”jawab Abi santai.
“Sinta…?” kataku sedikit kaget dan heran mendengar jawaban dari Abi.
“Nama lengkapnya sih Ayusinta tapi dia lebih terkenal dengan panggilan Sinta,” terang doi padaku.
“O….”komentarku lega. Ternyata aku nggak salab. “Tapi kok aku nggak pernah liat dia?” tanyaku lagi.
“Dia anak angkatan 2008. waktu itu mana pernah kamu perhatiin hal lain selain skripsi kamu. Abis itu kamu wisuda dan setelah itu kamu langsung sibuk kerja bantuin bokap kamu. Nah, baru setelah itu kamu inget kalau kamu masih punya temen yang ketinggalan di kampus ini, dan baru mulai main lagi kesini. Jadi Tuan, secara teoritis, wajar banget kalau kamu baru liat dia sekarang!”jawab Abi panjang lebar dengan disisipi ucapan protes.
“Tapi… ngomong-ngomong ngapain kamu ke sini?”tanya Abi sambil menyantap mie goreng pesanannya.
“Nggak.. Nggak pa-pa , iseng aja.” Jawabku asal.
*****
Introducing

Sejak hari itu aku jadi sering sekali main ke kampus, dengan pura-pura nemuin Abi. Padahal sebenarnya, aku Cuma ingin ketemu sama Ayusinta dan berkenalan secara langsung sama dia. Mau minta tolong sama Abi , tengsin abis. Sialnya lagi, nggak ada pertemuan-pertemuan nggak sengaja atau alasan yang tepat buat aku bisa nemuin dia. Aku jadi bingung dan hampir saja putus asa, sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Aku dan Abi berpaspasan dengannya di sebuah lorong kampus.
“Hai,Sin..!”sapa Abi pada Ayu.
“Hai..”balas Ayu lembut sambil tersenyum manis.
Duuhh senyumnya, membuat hatiku seolah seperti ice cream yang meleleh. Tiba-tiba saja otakku berpikir dengan cepat. Aku nggak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Reflek aku langsung menyikut lengan Abi. Dengan gelagapan Abi memperkenalkan aku pada Ayu.
“Oya… Kenalin, ini sahabatku Tio.”
Dengan jantung berdebar kencang aku ulurkan tanganku. “Hai..Tio,”kataku berat mencoba tersenyum dan menenangkan debaran jantungku.
Dia membalas uluran tanganku dan menyebutkan namanya. “Ayu..”
Uuhh… jemarinya lembut banget. Aku mungkin nggak akan pernah ngelepasin genggaman tanganku seandainya Abi nggak menginjak kakiku. Dengan kaget aku melepaskan genggaman tanganku dan memandang wajah Ayu yang sudah merona merah karena malu. Akupun tersenyum geli demi melihat rona merah di wajahnya itu.
Siang ini, tak kan pernah kulupakan.

*****

P.D.K.T

Setelah perkenalan kami siang itu berbagai cara telah kutempuh , segala macam jurus sudah kugunakan untuk bisa mendekati Ayu. Dari sekedar basa-basi di SMS, say hello di telfon sampai pura-pura nggak sengaja ke kampus di jam pulang. Padahal tujuanku sebenarnya adalah untuk menjemputnya. Atau kadang dengan alasan lapar berat, aku ajakin dia mampir ke kafe.
Dan semua usahaku itu nggak sia-sia , karena sekarang aku sudah bisa main ke rumahnya, ngajakin dia keluar makan, atau sekedar jalan-jalan aja. Semakin hari aku jadi semakin mengenal dia dan kepribadiannya. Dia itu cewek yang open minded, berwawasan luas, dan dia juga smart. Kadang dia bisa begitu dewasa. Tapi ada kalanya pula dia bersikap amat manja layaknya cewek lain. Yang jelas , she’s just perfect. Dan aku semakin jatuh cinta padanya.

*****

Tembak


Enam bulan dari perkenalan kami, di siang yang terik di sebuah kafe. Aku membuat keputusan besar dalam hidupku. Entah kenapa aku melakukannya. Mungkin, karena aku sudah nggak sanggup lagi menahan perasaanku padanya. Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, aku mengungkapkan semua isi hatiku.
“Yu, aku mau ngomong sesuatu ke kamu,” kataku sedikit ragu.
“Ehheemm..?”jawab Ayu santai sambil menyeruput jus jeruk di hadapannya.
Sikapnya membuatku semakin ragu dan gugup. Apalagi setelah itu dia menatapku. Membuatku merasa seperti maling yang ketangkap basah mau mencuri. Tak berkutik. Tapi segera kubuang perasaan itu. Aku harus ngomong sekarang!! Tekadku mantap dalam hati. Akupun menarik nafas dalam-dalam dan…
“Aku suka kamu,”ucapku seiring hembusan nafasku.
Aku mencoba mempelajari mimik wajah Ayu saat itu. Terlihat keterkejutan di sana. Tapi dia diam saja. Akhirnya aku putuskan untukmelanjutkan kata-kataku.
“Sejak pertama aku ngeliat kamu sampe sekarang. Semakin lama aku semakin yakin kalo aku sayang dan jatuh cinta sama kamu.”
Hening sesaat.
“Aku mau kamu jadi cewek aku.”tembakku langsung.
Ayu masih saja tak bergeming dan terus menatapku , membuatku merasa serba salah.
“Kamu cuma punya dua pilihan jawaban. Ya ato mau.”kataku akhirnya sambil tersenyum. Mencoba bercanda sekedar untuk mencairkan suasana. Ayu pun ikut tersenyum membuatku sedikit lega. Walaupun sebenarnya ketegangan masih menggenggam erat jantungku. Aku tatap matanya, mencoba mencari-cari tau kira-kira jawaban apa yang akan diberikab oleh Ayu. Tapi aku tak bisa menemukan jawaban itu. Kudengar dia menghela nafas dalam dan mulai bicara dengan suara agak berat.
“Sorry, tapi sepertinya aku punya pilihan jawaban yang lain,”kata Ayu kemudian dengan mimik wajah yang berubah sedih. Melihat hal itu, tiba-tiba membuatku merasa seakan-akan jantungku berhenti berdetak. Udara yang kuhirup pun lenyap entah kemana. Dan dadaku terasa penuh sesak. Aku merasa sulit bernafas. Aku merasa hampir mati , tapi sebelum semua itu benar-benar terjadi, aku kuatkan diruku untuk bertanya.
“Jadi maksud kamu?”kataku tertahan sambil berusaha mengumpulkan sisa-sisa udara yang masih ada di paru-paruku.
“Aku bersedia.”kata Ayu kemudian.
Ya, aku bersedia. Kurasa jawaban itu lain dari ya atau mau.”kata Ayu santai sambil tersenyum nakal penuh kemenangan.
Aku menatapnya tak percaya. Dia melakukan ini padaku. Mengerjai aku sedemikian rupa dan aku kena dengan telaknya. Tapi aku tak peduli dengan semua itu. Aku bahagia, amat bahagia mendengar jawaban Ayu tadi. Seolah beban berat yang menghimpit dadaku selama ini lepas begitu saja. Kemudian kamipun tertawa.

*****

Dating

Malam ini langit agak mendung , tapi tak mampu mengurangi rasa bahagia di hatiku. Malam ini akan jadi malam paling bersejarah dalam hidupku. Malam dimana aku akan kencan dengan Ayu. Kencan pertama kami setelah kamu resmi jadian tadi siang.
Sudah sejak sore tadi aku mencoba merapikan diri di depan cermin. Mencoba baju yang cocok , mencari tatanan rambut yang oke, sampai memilih sepatu yang matcing. Tapi semua seolah jadi serba salah. Mungkin karena aku ingin semuanya sempurna malam ini. Aku ingin malam ini sempurna, aku ingin menjadi sempurna, aku ingin segala-galanya sempurna. Untuk Ayu, untuk malam ini.
Dan akhirnya setelah mengobrak-abrik dandananku beberapa kali aku selesai juga. Aku mencoba berdandan lebih extra malam ini. Pakaian extra rapi, rambut extra klimis, parfum extra wangi, dan akupun merasa jadi extra ganteng.
Dengan langkah tegap dan penuh percaya diri aku berjlan keluar kamar menuju garasi. Dengan meminjam mobil Ayah, aku berangkat menuju rumah Ayu. Selama perjalanan tak henti-hentinya mulutku mendendangkan lagu-lagu cinta. Pada saat aku tiba di rumah Ayu, kulihat dia udah siap seratus persen.
Dia tampak lebih cantik dari biasanya dan wajahnya seolah bersinar. Sempurna..! bisikku dalam hati. Setelah berpamitan pada orang tua Ayu, kami pun berangkat.
“Kamu cantik sekali malam ini,” kataku pada Ayu saat kami berjalan menuju mobil di tengah hujan yang mulai turun rintik-rintik.
“Terima kasih,”kata Ayu sambil tersenyum.

*****

Tragedy

Mobil kami belum berjalan terlalu jauh ketika tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang berhenti mendadak di tengah jalan tepat di depan mobil kami. Sepertinya mesin mobil itu mati , tapi terlambat. Aku tidak bisa menghentikan laju mobil kami, jadi aku banting setir ke kanan. Tapi aku semakin tidak bisa mengendalikannya. Semua terjadi begitu cepat. Aku takkan pernah melupakan suara-suara malam itu. Suara teriakan, bunyi kaca pecah, dan terakhir jerit kesakitan.

*****

Ending

Ketika aku tersadar, hujan sudah turun deras. Ada beberapa orang yang berdiri mengerumuni aku. Aku merasa ada sesuatu yang hangat mengalir melewati mataku. Tapi bagaimanapun, aku masih bisa melihat Ayu. Tergeletak tak seberapa jauh dari tempatku. Aku merangkak menerobos kerumunan orang-orang itu, bergerak perlahan untuk mendekatinya.
Saat aku sudah ada di sebelahnya, aku angkat kepalanya dan kurebahkan di lenganku. Dia menatapku dalam dan tersenyum lembut padaku.
“Peluk aku, sebentar saja…” ucapnya amat lirih dengan suara parau.
Akupun langsung memeluknya erat , erat sekali. Lalu aku menciumnya. Ciuman terakhir kami. Aku merasa telah menemukan cinta itu. Cinta yang aku tau akan kurindukan. Tapi sekarang dia telah pergi dan seerat apapun aku memeluknya dia telah meninggalkan aku. Aku kehilangan cintaku, hidupku. Saat itu… Malam itu…

“Oh where , oh where, can my baby be?
The lord took her away from me
She’s gone to heaven, so I got to be good
So I can see my baby, when I leave this world.”
 
Based from
Last Kiss
By
Pearl Jam

Selasa, 14 Desember 2010

Mawar Terakhir

Bab 01

"I Love You"
Hanya tiga kata itu yang tertera di atas kerta putih dalam genggamanku. Dengan perasaan terkejut aku menoleh pada Heru. mencoba mencari kesungguhan dari tulisan yang aku baca barusan. Seketika dadaku berdesir tatkala kudapati kesungguhan dalam tatapan mata teduh itu. Dadaku makin berdegup kencang ketika Heru meraih jemari tanganku. Seolah ingin mengusir keraguan dalam diriku. Akupun kemudian tersenyum dan berkata,"I love you too." Kemudian kami bersitataptersenyum riang.

Aku percaya pada cinta Heru. Karna aku udah mengenal dia dengan baik. Beberapa bulan ini kami memang akrab. Sering bertemu dan punya banyak alasan untuk saling mendekatkan hubungan. Aku tahu apa yang tengah kami rasakan berdua, yang tak perlu dan tak bisa kami sembunyikan tapi tetap kami jaga walau selalu terpancar dari sikap dan perhatian kami.

Heru tanpa kusangka telah menjadi seseorang yang begitu istimewa bagiku. Dia mengisi setiap keindahan dilangkah hidupku. Seperti sore itu dia datang ke rumah sambil membawa sekuntum mawar untukku. Hari ini kami memang ada janjian untuk keluar. Sekedar ingin jalan-jalan. Hari-hari yang kulalui terasa begitu cepat dan indah bersama Heru. Tak terasa sudah setahun hubunganku dengan Heru berjalan. Hingga pada suatu sore...

Kring...kring...kring... Dering telpon itu terdengar begitu nyaring di sore yang lengang ini. Langsung kuangkat gagang telpon itu."Hallo,selamat sore." sapaku.
"Hallo, Anna?" terdengar suara Heru di seberang sana.
"Ya ,Her, ada apa?" tanyaku.
"Ehm... Na, bia nggak kita ketemu sekarang, di tempat biasa?" tanya Heru terdengar ragu.
"Ya,tentu. Tapi ada apa?" tanyaku lagi.
"Lebih baik kamu ke sini dulu. Nanti baru kita omongin di sini." kata Heru tanpa memberi penjelasan apa-apa.
"Ya udah, aku ke sana sekarang." jawabku tanpa bertanya lagi.  Segera kututup telpon itu dan dengan segala penasaran, aku berangkat ke kafe tempat biasa kami bertemu.

Setelah tiba di kafe, aku menebarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan itu, mencoba mencari Heru. Dan aku benar-benar terkejut saat aku melihat Heru sedang duduk berdua bersama seorang cewek dan menggenggam tangannya mesra.
"Hai.."sapaku pada Heru saat sudah berada di dekatnya. Heru yang tak menyadari kehadiranku langsung berdiri dan melepa genggaman tangannya.
"Hai,Na.." jawab Heru ragu.
"Duduk,Na." kata Heru kemudian ambil mearik mundur sebuah kursi untukku. 
"Terima kasih." kataku sambil duduk dan berusaha menyembunyikan kebingunganku.
"Mungkin ini adalah mawar terakhir yang akan aku berikan padamu." kata Heru setelah beberapa saat dan menyodorkan sekuntum mawar merah padaku.
"Maksudmu?" tanyaku cepat. Heru menarik nafas dalam ebelum dia mulai berbicara.
"Begini, maaf sebelumnya kalau sebenarnya selaa beberapa bulan ini aku telah membohongi kamu. Aku nggak bermakud untuk..."
"Langsung saja." potongku cepat.
"Kenalin ini Novi, pacarku yang baru." kata-kata Heru terdengar bagai petir di telingaku. Aku begitu terkejut mendengarnya. Aku langsung menatap nanar ke dalam mata Heru. Mata yang dulu sangat aku kagumi , namun dalam sepersekian detik mata itu pula yang kini sangat aku benci. Aku meremas mawar pemberian Heru itu tepat di depan matanya. Bagaimana mungikin perasaan ini bisa berubah begitu cepat? Aku pun segera bangkit dan kemudian berlari meninggalkan Heru tanpa memperdulikan apapun.

****

Bab 02

Peristiwa tiga tahun lalu itu kembali berkelebat-kelebat di pelupuk mataku seolah baru terjadi kemarin. Semua itu karna aku kembali melihat sosok itu... ya sosok seorang Heru. Dia sedang berdiri tepat beberapa meter di depanku. Aku segera berbalik ebelum dia bisa melihatku. Tapi terlambat...
"Na.."
Terdengar suara yang amat kukenal itu memanggilku. Dengan terpaksa aku berhenti dan berbalik. Aku mendengu kesal.
"Kamu Anna 'kan?" tanya Heru ragu etelah ada di depanku. Dia masih seperti dulu. Mata teduh itu, wajah lembut itu, dan senyum manis itu, masih ada. Tapi sepertinya dia sudah lupa padaku. Secepat itukah?
"Kamu Anna 'kan?" tanya Heru sekali lagi membuyarkan lamunanku. 
"Ya  benar, ada yang bisa saya bantu?" kataku datar dan kubuat enormal mungkin.
"Na, kamu lupa? ini aku, Heru!" katanya penuh emangat dan senyum yang mengundang.
"Aku lupa padamu? Mana mungkin aku melupakan kamu! Aku tidak akan pernah melupakan kamu agar aku tetap bisa mengingat perbuatanmu padaku." kataku sinis. Aku tak mampu lagi menhan emosi yang meledak di dadaku. Emosi yang kutahan sejak dia menyapaku tadi, atau bahkan mungkin sejak lama, sejak tiga tahun lalu. Heru hanya bisa terdiam melihatku seperti itu. Tampak sekali keterkejutan di raut wajahnya. Tapi aku sudah tak sempat lagi memperdulikan hal itu. Aku langsung saja pergi meninggalkan Heru.
 
Kenapa aku harus nelihatnya lagi, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Dan kenapa rasa sakit itu belum juga hilang? Entah kenapa aku merasa sakit dan perih itu datang lagi menggores hatiku. Rasa sakit dan perih yang sama yang kurasakan tiga tahun lalu ketika aku melihat Heru bersama cewek itu. Dulu aku berpikir bahwa waktu akan mampu menyembuhkan luka hatiku. Tapi ternyata aku salah, waktu ternyata tak mampu melakukan apapun. Sebuah tepukan dio bahu membuyarkan lamunanku. Rupanya Sinta sudah berdiri di sampingku tanpa kusadari.
“Kamu tuh kenapa? Ngelamun aja!” tanyanya heran.
“Heru,” jawabku singkat.
“Heru? Heru siapa?”
“Heru, mantan cowokku.”
“Kenapa ? Ada apa dengan dia?”
“Aku baru ngeliat dia lagi.”
“Kapan? Dimana?” tanya Sinta lebih bersemangat.
“Kemarin sore , di mall”
“Trus apa yang terjadi?”
“Ya… ya nggak terjadi apa-apa.”
“Nggak terjadi apa-apa gimana? Cerita dong!”
“Mau cerita apa? Emang ngggak terjadi apa-apa kok. Dia nyapa aku, aku jawab sapaannya. Udah itu aja,” jawabku santai.
“Tapi,Na…”
“Ah udah…aku nggak mau bahas ini lagi! Males aku ngomonginnya!” potongku cepat sebelum Sinta bertanya lebih jauh lagi. “Jadi nggak pergi?” tanyaku saat kulihat Sinta masih duduk bengong.
“Ya jadilah, ayo kita berangkat.”kata Sinta cepat.
Kamipun segera beranjak dan menuju pintu depan. Saat aku baru akan membukakan pintu, tiba-tiba bel pintu itu berbunyi. Segera kubuka pintu dan sosok tubuh itu sudah berdiri tegak di sana. Sosok yang begitu kukenal.
“Kamu..?? mau apa kamu ke sini??” tanyaku ketus setelah aku bisa menguasai keadaan diriku.
“Aku… aku cuma mau bicara sebentar sama kamu. Kamu ada waktu?”
“Maaf, aku nggak punya waktu. Kami harus segera pergi. Yuk,Sin, kita berangkat!” jawabku sambil berlalu meninggalkan Heru. Sinta terbengong-bengong berjalan mengikuti aku dari belakang.

*****

Bab 03

 Aku baru saja akan membuka pintu ketika aku mendapati ada sekuntum mawar dan secarik kertas di atas meja. Segera aku ambil kertas itu dan kubawa masuk. Segera saja aku buka secarik kertas yang tertuju untukku itu.
 
Dear Anna…

 Aku tau kamu masih marah padaku. Aku bisa membacanya di matamu. Kau mungkin takkan pernah mau memaafkan aku dan aku bisa mengerti itu. Tapi,Na, tak berhakkah aku mendapatkan kesempatan kedua ? aku tau aku telah melakukan kesalahan besar padamu. Aku meninggalkan kamu demi cewek lain yang justru mengkhianati aku. Kurasa ini hukum karma buat aku,Na. dan hukum karma ini takkan berakhir sampai kamu mau memaafkan aku. Jadi aku mohon,Na, maafkanlah aku. Aku takkan menyerah untuk memohon dan aku tak kan pernah berhenti menemuimu sampai kau menyatakan”ya, aku memaafkanmu”. Dan satu lagi,Na, tahukah kau bahwa pertemuan kita beberapa waktu yang lalu menyadarkan aku bahwa aku tak pernah berhanti mencintaimu.  


Please for give me,

Heroe

Aku tercekat membaca tulisan dalam surat itu. Tapi sedetik kemudian aku meremasnya dan membuang keras itu ke dalam tempat samapah di dekatku. Aku pun bermaksud membuang mawar yang kugenggam, tapi kemudian aku urungkan. Aku tak tau kenapa, aku merasa ada sesuatu yang menahanku untuk melakukannya.
“Lagi ngapain , Na?”
Suara itu lagi. “Belum bosan juga jamu datang ke sini?” tanyaku pada Heru yang sejak hari sering sekali datang ke rumah dan tak pernah absen membawa sekuntum bunga mawar. Bunga yang tak pernah kuterima dengan tanganku, tapi tersimpan rapi dan menghiasi setiap sudut kamarku. Dia selalu meletakannya di atas meja teras dan aku baru mengambilnya setelah dia beranjak pergi.
“Aku sudah bilang aku takkan menyerah sampai kau mau memaafkan aku!”
“Dan aku juga takkan pernah bosan untuk mengatakan TIDAK. Aku tidak akan memaafkan kamu!” kataku mantap.
“Aku yakin kau tau pasti seberapa besar kesalahan yang telah kau perbuat padaku dan seberapa dalam luka yang disebabkan oleh kesalahan itu, ya ‘kan?” kataku lagi.
“Ya, aku tau, tapi aku benar-benar menyesal dan aku hanya ingin mendapatkan kesempatan kedua. Jadi aku mohon maafkan aku!” Suara Heru terdengar sangat putus asa di telingaku, tapi aku hanya bisa terdiam ,emdemhat kata-kata itu. Seandainya dia tahu betapa ingin aku bisa memaafkannya, betapa aku masih mencintainya, dan betapa selama ini aku tak bisa terima kehadiran cowok lain di hidup dan hatiku. Tapi setiap aku ingat pengkhianatannya, kebohongannya, setiap kali itu juga aku merasa begitu marang dan sangat benci padanya. Yang terhadi sebenarnya adalah aku merasa takut, takut untuk memafkannya karna aku takut dikhianati dan dibohongi lagi. Aku nggak mau itu terulang lagi. Aku nggak mau merasa sakit yang seperti ini lagi.
“Dengar, sebaiknya kamu pulang sekarang juga dan jangan pernah kembali lagi ke sini!” akhirnya hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulutku.
“Na… aku mohon,Na, sekali ini saha… maafin aku… beri aku kesempatan lagi.” Kata Heru lebih mengiba.
“Pergilah sekarang sebelum aku berteriak lebih keras padamu!” kataku sengit dan alngsung beranjak pergi meninggalkan Heru.
Tentu saja Heru tak tahu lama setelah dia pergi aku masih termangu di dekat jendela menatap keluar dengan pandangan kosong, melihat jejak kepergiannya.
******

Bab 04

Bunyi bell menyentak pendengaranku saat aku masih duduk santai menonton TV. Dengan malas aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu depan. Ketika pintu kubuka seorang lelaki paruh baya yang tak kukenal berdiri di sana.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.
“Betul di sini rumah saudari Anna?” tanya orang itu sedikit ragu.
“Ya betul, saya sendiri. Mmm… maaf anda siapa ya? Dan ada keperluan apa dengan saya?” tanyaku panjang lebar karena penasaran.
“Begini, saya dari rumah sakit , di sana ada seorang pemuda yang telah mengalami kecelakaan. Dan kami hanya menemukan ini di saku celananya.” Jelasnya sambil menyodorkan sebuah dompet padaku. Dompet yang berisi SIM dan sebuah kartu identitas yang tanpa kubacapun aku tahu siapa pemiliknya. Ini adalah dompet yang kuberikan pada Heru saat dia berulang tahun dulu. Aku tak menyangka dia masih menyimpan dompet ini dan yang membuatku semkin terkejut ternyata di dalamnya juga masih ada foto kami waktu masih bersama dulu. Akunjuga menemukan selembar kertas yang ternyata bertuliskan alamat rumah ini.
“Kami tau alamat rumah ini dari kertas itu ,mbak!” kata orang itu tiba-tiba membuatku sedikit terkejut.
“Bagaimana apakah Anda mengenal dia?” tanya orang itu lagi.
“Ya, ya tentu. Saya memang mengenal dia. Dia pacar saya.” Jawabku terbata dan tanpa pikir panjang.
“Lalu bagaimana keadaan dia sekarang ,Pak?”tanyaku dengan nada cemas yang tak bisa kusembunyikan setelah sadar bahwa bapak ini tadi mengatakan kalau Heru mengalami kecelakaan.
“Apakah keadaannya parah? Ataukah dia mendapat luka yang serius? Atau mungkin dia…”
“Untuk itu sebaiknya kita segera ke rumah sakit saja!” potong bapak itu cepat karna kekhawatiranku sudah mulai tak terkontrol.
“Ya, tentu saja. Saya ganti baju dulu!” jawabku kemudian langsung melesat ke dalam kamar.

*****

Bab 05

Akhirnya aku tiba di rumah sakit. Aku masuk ke kamar Heru dengan diantar seorang perawat yang kemudian memberikan sebuah pakaian steril padaku. Sebelum ke kamar ini, aku bertemu dulu dengan dokter yang merawat Heru, yang memberi penjelasan padaku tentang keadaan Heru. Penjelasan yang kemudian kusadari tak ingin kudengar ataupun kupercayai. Nggak mungkin Heru-ku selemah itu, nggak mungin dia separah itu. Dia cowok yang kuat, cowok yang nggak mudah menyerah.
Tapi saat aku ke dalam kamar Heru dan melihat kebenaran kata-kata dokter itu. Aku melihat Heru terbaring lemah diatas sebuah tempat tidur . Selang-selang kecil bergelantungan di kanan dan kirinya. Selang infus, tranfusi darah dan entah peralatan medis apasaja yang menempel di tubuhnya. Di tubuh yang dipenuhi oleh luka, dan beberapa luka itu bahkan masih mengeluarkan darah. Sebagian perban di kepalanya juga basah oleh darah.
Dokter itu ternyata benar, keadaan Heru memang benar-benar parah. Tapi nggak mungkin Heru…. Heru cowok yang kuat, dia pasti bisa bertahan, dia harus bisa bertahan!
Memikirkan kemungkinan terburuk itu membuatku hampir saja pingsan. Dan semua perasaan dendam, sakit hati ,dan kebencianku tiba-tiba saja hilang berganti dengan perasaan khawatir dan takut yang teramat sangat. Heru tersadar ketika aku berusaha menyentuh pipinya.
“Hai….Na..” kata Heru lirih dan berusaha tersenyum.
“Hai…” jawabku berusaha untuk tetap tenang dan membalas senyumannya.
“Aku tadi sebenernya mau ke rumah kamu, tapi di tengah perjalanan aku malah dapet kecelakaan ini,” kata Heru susah payah. Dia berhenti bicara dan menarik nafas dalam.
“Mungkin aku terlalu ngebut kali ,ya. Sekarang aku baru ngerti kenapa kamu dulu selalu mengatakan padaku agar aku tidak ngebut.”kata Heru lagi semakin lemah.
“Sudahlah,Her, kamu nggak usah banyak bicara dulu. Kamu nggak boleh terlalu capek..” kataku berusaha membuat Heru berhenti bicara, tapi sepertinya sia-sia saja karna dia masih saja terus berbicara…
“Na, sekali lagi aku meminta dan mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mohon ,Na, maukah kamu memaafkan aku?” kata-kata Heru membuat tubuhku terasa lemas dan putus asa. Tapi aku nggak bolej kelihatan lemah dan sedih di depan Heru. Aku nggak mau dia tahu tentang keadaan dia yang sebenarnya.
“Sssttt…. Kamu nggak boleh ngomong kaya’ gitu. Everything will be alright dan kita masih punya cukup banyak waktu untuk membahas tentang hal itu nanti…”
“Nggak,Na, nggak bisa. Aku takut aku nggak akan sempat lagi..” potong Heru cepat dan tangisku hampir saja pecah demi mendengar kata-kata Heru barusan.
“Sudah aku bilang,Her, kamu akan baik-baik saja,” kataku masih berusaha meyakinkan Heru.
“Aku cukup tau bagaimana keadaanku yang sebenarnya, jadi sekali lagi aku tanya ke kamu, maukah kamu memaafkan aku? Tolong jawablah,” kata Heru memohon.
 “Ya,ya tentu saja. Tentu saja aku memaafkan kamu. Aku bahkan sudah memaafkanmu sejak pertama kali kamu datang ke rumah dan meminta maaf padaku.”kataku kemudian mencoba membuat Heru merasa lebih tenang. Tanpa sadar air mata sudah mengalir di pipiku.
"Kamu nggak pa-pa ,Na?" tanya Heru lemah.
"Nggak, aku nggak pa-pa kok!" jawabku sambil berusaha menyembunyikan air mata ku.
" Terima kasih karna kamu udah mau maafin aku. Na, aku punya sesuatu buat kamu."kata Heru lagi. Suara Heru semakin lama terdengar makin pelan sehingga aku harus menunduk untuk bisa mendengar suaranya.
"Apa?" tanyaku kemudian.
"Ini, aku dulu pernah memberikan bunga padamu dan berkata mungkin itu adalah bunga terakhir yang akan aku berikan padamu. Tapi ternyata aku salah," Heru mendesah dalam.
"Tapi sepertinya kali ini aku tak mungkin salah, aku bisa merasakan bahwa bunga ini  memang adalah bunga terakhir yang akan aku berikan padamu." kata Heru sambil menyerahkan sekuntum mawar merah padaku. Entah sejak kapan dia menggenggam bunga itu.
"Nggak Her, kali ini kamu juga akan salah.Karna aku yakin kamu akan sembuh dan baik-baik saja. Dan satu lagi, masih akan ada banyak mawar-mawar lain yang bisa kau berikan padaku!" kataku berusaha meyakinkan Heru walaupun sebenarnya hal ini kulakukan untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku benar-benar takut hal yang paling buruk itu bakal menimpa Heru. Keadaannya makin lama makin melemah. Aku pun sebenarnya nggak yakin Heru akan bisa melewati masa kritisnya. Ini sangat menakutkan bagiku.
"Na... Aku sangat tau bagaimana keadaanku. Aku tau aku nggak mungkin bisa bertahan. Aku merasa aku sudah nggak kuat lagi..." kata-kata Heru tertahan di sini, dia menarik nafas berat berusaha mengumpulkan tenanganya yang masih tersisa. 
"Tapi kau tau, Na, aku bahagia. Aku cukup bahagia karna di saat-saat terakhirku kau mau memaafkan aku dan tersenyum lagi padaku."kata Heru  terbata-bata dan berusaha tersenyum untukku.
"Nggak kamu nggak boleh ngomong gitu, kamu akan sembuh ,Her,percaya padaku."kataku sambil terisak menangis tak mampu lagi menahan jatuh air mataku.
"Ssssttt... Na, aku mohon jangan menangis lagi. Jangan menangis lagi untukku, udah terlalu banyak air mata kamu mengalir karena aku," kata Heru semakin terbata-bata saat melihat air mataku semakin deras mengalir.
"Na, kemari, dekatkan kepalamu padaku,"kata Heru semakin lemah dan setengah berbisik. Akupun menunduk. 

Lebih dekat lagi ,Na,” pinta Heru. Kutundukkan kepalaku lebih dalam lagi. Perlahan sekali Heru berusaha mengangkat kepalanya dan kemudian mengecup keningku. Sedetik kemudian Heru sudah tidak sanggup lagi menahan kepalanya dan menjatuhkannya ke bantal. Saat aku menatapnya, Heru tersenyum amat manis padaku. Begitu damai. Yang terjadi kemudian membuatku hilang akal. Heru memejamkan matanya , alat pendeteksi detak jantung terhenti. Itu terdengar seperti petir di telingaku. Aku berusaha mengguncang-guncang tubuh Heru dan berteriak memanggil namanya. Tapi dia tetap saja terdiam. Aku tak percaya semua ini. Tak kusadari tubuhku sudah terkulai lemas di lantai rumah sakit.

****

Bab 06

Aku terduduk lemas di lantai kamarku dan bersandar di dinding. Ini adalah pemakaman terberat yang pernah kuhadiri. Aku meras seolah-olah jiwa, cinta , dan tubuhku ikut terkubut di dalamnya, Tak henti-hentinya kukutuki diriku sendiri. Mengapa aku tak mau memaafkan Heru sejak dulu? Mengapa aku terlalu angkuh untuk mengakui perasaanku sendiri? Mengapa aku baru mau memaafkan Heru setelah dia semua kejadian ini, di saat semua sudah terlambat? Dan yang lebih membuatku menyesal adalah karna baru sekarang aku menyadari bahwa keangkuhan dan harga diri nggak seharusnya ada diantara cinta. Lamat-lamat terdengar syahdu alunan lagu Backstreet Boys
“ Show me the meaning of being lonely, is this feelingI need walk with. Tell me why I can’t be there where you were There something missing im my heart….”


TAMAT