Selasa, 14 Desember 2010

Mawar Terakhir

Bab 01

"I Love You"
Hanya tiga kata itu yang tertera di atas kerta putih dalam genggamanku. Dengan perasaan terkejut aku menoleh pada Heru. mencoba mencari kesungguhan dari tulisan yang aku baca barusan. Seketika dadaku berdesir tatkala kudapati kesungguhan dalam tatapan mata teduh itu. Dadaku makin berdegup kencang ketika Heru meraih jemari tanganku. Seolah ingin mengusir keraguan dalam diriku. Akupun kemudian tersenyum dan berkata,"I love you too." Kemudian kami bersitataptersenyum riang.

Aku percaya pada cinta Heru. Karna aku udah mengenal dia dengan baik. Beberapa bulan ini kami memang akrab. Sering bertemu dan punya banyak alasan untuk saling mendekatkan hubungan. Aku tahu apa yang tengah kami rasakan berdua, yang tak perlu dan tak bisa kami sembunyikan tapi tetap kami jaga walau selalu terpancar dari sikap dan perhatian kami.

Heru tanpa kusangka telah menjadi seseorang yang begitu istimewa bagiku. Dia mengisi setiap keindahan dilangkah hidupku. Seperti sore itu dia datang ke rumah sambil membawa sekuntum mawar untukku. Hari ini kami memang ada janjian untuk keluar. Sekedar ingin jalan-jalan. Hari-hari yang kulalui terasa begitu cepat dan indah bersama Heru. Tak terasa sudah setahun hubunganku dengan Heru berjalan. Hingga pada suatu sore...

Kring...kring...kring... Dering telpon itu terdengar begitu nyaring di sore yang lengang ini. Langsung kuangkat gagang telpon itu."Hallo,selamat sore." sapaku.
"Hallo, Anna?" terdengar suara Heru di seberang sana.
"Ya ,Her, ada apa?" tanyaku.
"Ehm... Na, bia nggak kita ketemu sekarang, di tempat biasa?" tanya Heru terdengar ragu.
"Ya,tentu. Tapi ada apa?" tanyaku lagi.
"Lebih baik kamu ke sini dulu. Nanti baru kita omongin di sini." kata Heru tanpa memberi penjelasan apa-apa.
"Ya udah, aku ke sana sekarang." jawabku tanpa bertanya lagi.  Segera kututup telpon itu dan dengan segala penasaran, aku berangkat ke kafe tempat biasa kami bertemu.

Setelah tiba di kafe, aku menebarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan itu, mencoba mencari Heru. Dan aku benar-benar terkejut saat aku melihat Heru sedang duduk berdua bersama seorang cewek dan menggenggam tangannya mesra.
"Hai.."sapaku pada Heru saat sudah berada di dekatnya. Heru yang tak menyadari kehadiranku langsung berdiri dan melepa genggaman tangannya.
"Hai,Na.." jawab Heru ragu.
"Duduk,Na." kata Heru kemudian ambil mearik mundur sebuah kursi untukku. 
"Terima kasih." kataku sambil duduk dan berusaha menyembunyikan kebingunganku.
"Mungkin ini adalah mawar terakhir yang akan aku berikan padamu." kata Heru setelah beberapa saat dan menyodorkan sekuntum mawar merah padaku.
"Maksudmu?" tanyaku cepat. Heru menarik nafas dalam ebelum dia mulai berbicara.
"Begini, maaf sebelumnya kalau sebenarnya selaa beberapa bulan ini aku telah membohongi kamu. Aku nggak bermakud untuk..."
"Langsung saja." potongku cepat.
"Kenalin ini Novi, pacarku yang baru." kata-kata Heru terdengar bagai petir di telingaku. Aku begitu terkejut mendengarnya. Aku langsung menatap nanar ke dalam mata Heru. Mata yang dulu sangat aku kagumi , namun dalam sepersekian detik mata itu pula yang kini sangat aku benci. Aku meremas mawar pemberian Heru itu tepat di depan matanya. Bagaimana mungikin perasaan ini bisa berubah begitu cepat? Aku pun segera bangkit dan kemudian berlari meninggalkan Heru tanpa memperdulikan apapun.

****

Bab 02

Peristiwa tiga tahun lalu itu kembali berkelebat-kelebat di pelupuk mataku seolah baru terjadi kemarin. Semua itu karna aku kembali melihat sosok itu... ya sosok seorang Heru. Dia sedang berdiri tepat beberapa meter di depanku. Aku segera berbalik ebelum dia bisa melihatku. Tapi terlambat...
"Na.."
Terdengar suara yang amat kukenal itu memanggilku. Dengan terpaksa aku berhenti dan berbalik. Aku mendengu kesal.
"Kamu Anna 'kan?" tanya Heru ragu etelah ada di depanku. Dia masih seperti dulu. Mata teduh itu, wajah lembut itu, dan senyum manis itu, masih ada. Tapi sepertinya dia sudah lupa padaku. Secepat itukah?
"Kamu Anna 'kan?" tanya Heru sekali lagi membuyarkan lamunanku. 
"Ya  benar, ada yang bisa saya bantu?" kataku datar dan kubuat enormal mungkin.
"Na, kamu lupa? ini aku, Heru!" katanya penuh emangat dan senyum yang mengundang.
"Aku lupa padamu? Mana mungkin aku melupakan kamu! Aku tidak akan pernah melupakan kamu agar aku tetap bisa mengingat perbuatanmu padaku." kataku sinis. Aku tak mampu lagi menhan emosi yang meledak di dadaku. Emosi yang kutahan sejak dia menyapaku tadi, atau bahkan mungkin sejak lama, sejak tiga tahun lalu. Heru hanya bisa terdiam melihatku seperti itu. Tampak sekali keterkejutan di raut wajahnya. Tapi aku sudah tak sempat lagi memperdulikan hal itu. Aku langsung saja pergi meninggalkan Heru.
 
Kenapa aku harus nelihatnya lagi, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Dan kenapa rasa sakit itu belum juga hilang? Entah kenapa aku merasa sakit dan perih itu datang lagi menggores hatiku. Rasa sakit dan perih yang sama yang kurasakan tiga tahun lalu ketika aku melihat Heru bersama cewek itu. Dulu aku berpikir bahwa waktu akan mampu menyembuhkan luka hatiku. Tapi ternyata aku salah, waktu ternyata tak mampu melakukan apapun. Sebuah tepukan dio bahu membuyarkan lamunanku. Rupanya Sinta sudah berdiri di sampingku tanpa kusadari.
“Kamu tuh kenapa? Ngelamun aja!” tanyanya heran.
“Heru,” jawabku singkat.
“Heru? Heru siapa?”
“Heru, mantan cowokku.”
“Kenapa ? Ada apa dengan dia?”
“Aku baru ngeliat dia lagi.”
“Kapan? Dimana?” tanya Sinta lebih bersemangat.
“Kemarin sore , di mall”
“Trus apa yang terjadi?”
“Ya… ya nggak terjadi apa-apa.”
“Nggak terjadi apa-apa gimana? Cerita dong!”
“Mau cerita apa? Emang ngggak terjadi apa-apa kok. Dia nyapa aku, aku jawab sapaannya. Udah itu aja,” jawabku santai.
“Tapi,Na…”
“Ah udah…aku nggak mau bahas ini lagi! Males aku ngomonginnya!” potongku cepat sebelum Sinta bertanya lebih jauh lagi. “Jadi nggak pergi?” tanyaku saat kulihat Sinta masih duduk bengong.
“Ya jadilah, ayo kita berangkat.”kata Sinta cepat.
Kamipun segera beranjak dan menuju pintu depan. Saat aku baru akan membukakan pintu, tiba-tiba bel pintu itu berbunyi. Segera kubuka pintu dan sosok tubuh itu sudah berdiri tegak di sana. Sosok yang begitu kukenal.
“Kamu..?? mau apa kamu ke sini??” tanyaku ketus setelah aku bisa menguasai keadaan diriku.
“Aku… aku cuma mau bicara sebentar sama kamu. Kamu ada waktu?”
“Maaf, aku nggak punya waktu. Kami harus segera pergi. Yuk,Sin, kita berangkat!” jawabku sambil berlalu meninggalkan Heru. Sinta terbengong-bengong berjalan mengikuti aku dari belakang.

*****

Bab 03

 Aku baru saja akan membuka pintu ketika aku mendapati ada sekuntum mawar dan secarik kertas di atas meja. Segera aku ambil kertas itu dan kubawa masuk. Segera saja aku buka secarik kertas yang tertuju untukku itu.
 
Dear Anna…

 Aku tau kamu masih marah padaku. Aku bisa membacanya di matamu. Kau mungkin takkan pernah mau memaafkan aku dan aku bisa mengerti itu. Tapi,Na, tak berhakkah aku mendapatkan kesempatan kedua ? aku tau aku telah melakukan kesalahan besar padamu. Aku meninggalkan kamu demi cewek lain yang justru mengkhianati aku. Kurasa ini hukum karma buat aku,Na. dan hukum karma ini takkan berakhir sampai kamu mau memaafkan aku. Jadi aku mohon,Na, maafkanlah aku. Aku takkan menyerah untuk memohon dan aku tak kan pernah berhenti menemuimu sampai kau menyatakan”ya, aku memaafkanmu”. Dan satu lagi,Na, tahukah kau bahwa pertemuan kita beberapa waktu yang lalu menyadarkan aku bahwa aku tak pernah berhanti mencintaimu.  


Please for give me,

Heroe

Aku tercekat membaca tulisan dalam surat itu. Tapi sedetik kemudian aku meremasnya dan membuang keras itu ke dalam tempat samapah di dekatku. Aku pun bermaksud membuang mawar yang kugenggam, tapi kemudian aku urungkan. Aku tak tau kenapa, aku merasa ada sesuatu yang menahanku untuk melakukannya.
“Lagi ngapain , Na?”
Suara itu lagi. “Belum bosan juga jamu datang ke sini?” tanyaku pada Heru yang sejak hari sering sekali datang ke rumah dan tak pernah absen membawa sekuntum bunga mawar. Bunga yang tak pernah kuterima dengan tanganku, tapi tersimpan rapi dan menghiasi setiap sudut kamarku. Dia selalu meletakannya di atas meja teras dan aku baru mengambilnya setelah dia beranjak pergi.
“Aku sudah bilang aku takkan menyerah sampai kau mau memaafkan aku!”
“Dan aku juga takkan pernah bosan untuk mengatakan TIDAK. Aku tidak akan memaafkan kamu!” kataku mantap.
“Aku yakin kau tau pasti seberapa besar kesalahan yang telah kau perbuat padaku dan seberapa dalam luka yang disebabkan oleh kesalahan itu, ya ‘kan?” kataku lagi.
“Ya, aku tau, tapi aku benar-benar menyesal dan aku hanya ingin mendapatkan kesempatan kedua. Jadi aku mohon maafkan aku!” Suara Heru terdengar sangat putus asa di telingaku, tapi aku hanya bisa terdiam ,emdemhat kata-kata itu. Seandainya dia tahu betapa ingin aku bisa memaafkannya, betapa aku masih mencintainya, dan betapa selama ini aku tak bisa terima kehadiran cowok lain di hidup dan hatiku. Tapi setiap aku ingat pengkhianatannya, kebohongannya, setiap kali itu juga aku merasa begitu marang dan sangat benci padanya. Yang terhadi sebenarnya adalah aku merasa takut, takut untuk memafkannya karna aku takut dikhianati dan dibohongi lagi. Aku nggak mau itu terulang lagi. Aku nggak mau merasa sakit yang seperti ini lagi.
“Dengar, sebaiknya kamu pulang sekarang juga dan jangan pernah kembali lagi ke sini!” akhirnya hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulutku.
“Na… aku mohon,Na, sekali ini saha… maafin aku… beri aku kesempatan lagi.” Kata Heru lebih mengiba.
“Pergilah sekarang sebelum aku berteriak lebih keras padamu!” kataku sengit dan alngsung beranjak pergi meninggalkan Heru.
Tentu saja Heru tak tahu lama setelah dia pergi aku masih termangu di dekat jendela menatap keluar dengan pandangan kosong, melihat jejak kepergiannya.
******

Bab 04

Bunyi bell menyentak pendengaranku saat aku masih duduk santai menonton TV. Dengan malas aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu depan. Ketika pintu kubuka seorang lelaki paruh baya yang tak kukenal berdiri di sana.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.
“Betul di sini rumah saudari Anna?” tanya orang itu sedikit ragu.
“Ya betul, saya sendiri. Mmm… maaf anda siapa ya? Dan ada keperluan apa dengan saya?” tanyaku panjang lebar karena penasaran.
“Begini, saya dari rumah sakit , di sana ada seorang pemuda yang telah mengalami kecelakaan. Dan kami hanya menemukan ini di saku celananya.” Jelasnya sambil menyodorkan sebuah dompet padaku. Dompet yang berisi SIM dan sebuah kartu identitas yang tanpa kubacapun aku tahu siapa pemiliknya. Ini adalah dompet yang kuberikan pada Heru saat dia berulang tahun dulu. Aku tak menyangka dia masih menyimpan dompet ini dan yang membuatku semkin terkejut ternyata di dalamnya juga masih ada foto kami waktu masih bersama dulu. Akunjuga menemukan selembar kertas yang ternyata bertuliskan alamat rumah ini.
“Kami tau alamat rumah ini dari kertas itu ,mbak!” kata orang itu tiba-tiba membuatku sedikit terkejut.
“Bagaimana apakah Anda mengenal dia?” tanya orang itu lagi.
“Ya, ya tentu. Saya memang mengenal dia. Dia pacar saya.” Jawabku terbata dan tanpa pikir panjang.
“Lalu bagaimana keadaan dia sekarang ,Pak?”tanyaku dengan nada cemas yang tak bisa kusembunyikan setelah sadar bahwa bapak ini tadi mengatakan kalau Heru mengalami kecelakaan.
“Apakah keadaannya parah? Ataukah dia mendapat luka yang serius? Atau mungkin dia…”
“Untuk itu sebaiknya kita segera ke rumah sakit saja!” potong bapak itu cepat karna kekhawatiranku sudah mulai tak terkontrol.
“Ya, tentu saja. Saya ganti baju dulu!” jawabku kemudian langsung melesat ke dalam kamar.

*****

Bab 05

Akhirnya aku tiba di rumah sakit. Aku masuk ke kamar Heru dengan diantar seorang perawat yang kemudian memberikan sebuah pakaian steril padaku. Sebelum ke kamar ini, aku bertemu dulu dengan dokter yang merawat Heru, yang memberi penjelasan padaku tentang keadaan Heru. Penjelasan yang kemudian kusadari tak ingin kudengar ataupun kupercayai. Nggak mungkin Heru-ku selemah itu, nggak mungin dia separah itu. Dia cowok yang kuat, cowok yang nggak mudah menyerah.
Tapi saat aku ke dalam kamar Heru dan melihat kebenaran kata-kata dokter itu. Aku melihat Heru terbaring lemah diatas sebuah tempat tidur . Selang-selang kecil bergelantungan di kanan dan kirinya. Selang infus, tranfusi darah dan entah peralatan medis apasaja yang menempel di tubuhnya. Di tubuh yang dipenuhi oleh luka, dan beberapa luka itu bahkan masih mengeluarkan darah. Sebagian perban di kepalanya juga basah oleh darah.
Dokter itu ternyata benar, keadaan Heru memang benar-benar parah. Tapi nggak mungkin Heru…. Heru cowok yang kuat, dia pasti bisa bertahan, dia harus bisa bertahan!
Memikirkan kemungkinan terburuk itu membuatku hampir saja pingsan. Dan semua perasaan dendam, sakit hati ,dan kebencianku tiba-tiba saja hilang berganti dengan perasaan khawatir dan takut yang teramat sangat. Heru tersadar ketika aku berusaha menyentuh pipinya.
“Hai….Na..” kata Heru lirih dan berusaha tersenyum.
“Hai…” jawabku berusaha untuk tetap tenang dan membalas senyumannya.
“Aku tadi sebenernya mau ke rumah kamu, tapi di tengah perjalanan aku malah dapet kecelakaan ini,” kata Heru susah payah. Dia berhenti bicara dan menarik nafas dalam.
“Mungkin aku terlalu ngebut kali ,ya. Sekarang aku baru ngerti kenapa kamu dulu selalu mengatakan padaku agar aku tidak ngebut.”kata Heru lagi semakin lemah.
“Sudahlah,Her, kamu nggak usah banyak bicara dulu. Kamu nggak boleh terlalu capek..” kataku berusaha membuat Heru berhenti bicara, tapi sepertinya sia-sia saja karna dia masih saja terus berbicara…
“Na, sekali lagi aku meminta dan mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mohon ,Na, maukah kamu memaafkan aku?” kata-kata Heru membuat tubuhku terasa lemas dan putus asa. Tapi aku nggak bolej kelihatan lemah dan sedih di depan Heru. Aku nggak mau dia tahu tentang keadaan dia yang sebenarnya.
“Sssttt…. Kamu nggak boleh ngomong kaya’ gitu. Everything will be alright dan kita masih punya cukup banyak waktu untuk membahas tentang hal itu nanti…”
“Nggak,Na, nggak bisa. Aku takut aku nggak akan sempat lagi..” potong Heru cepat dan tangisku hampir saja pecah demi mendengar kata-kata Heru barusan.
“Sudah aku bilang,Her, kamu akan baik-baik saja,” kataku masih berusaha meyakinkan Heru.
“Aku cukup tau bagaimana keadaanku yang sebenarnya, jadi sekali lagi aku tanya ke kamu, maukah kamu memaafkan aku? Tolong jawablah,” kata Heru memohon.
 “Ya,ya tentu saja. Tentu saja aku memaafkan kamu. Aku bahkan sudah memaafkanmu sejak pertama kali kamu datang ke rumah dan meminta maaf padaku.”kataku kemudian mencoba membuat Heru merasa lebih tenang. Tanpa sadar air mata sudah mengalir di pipiku.
"Kamu nggak pa-pa ,Na?" tanya Heru lemah.
"Nggak, aku nggak pa-pa kok!" jawabku sambil berusaha menyembunyikan air mata ku.
" Terima kasih karna kamu udah mau maafin aku. Na, aku punya sesuatu buat kamu."kata Heru lagi. Suara Heru semakin lama terdengar makin pelan sehingga aku harus menunduk untuk bisa mendengar suaranya.
"Apa?" tanyaku kemudian.
"Ini, aku dulu pernah memberikan bunga padamu dan berkata mungkin itu adalah bunga terakhir yang akan aku berikan padamu. Tapi ternyata aku salah," Heru mendesah dalam.
"Tapi sepertinya kali ini aku tak mungkin salah, aku bisa merasakan bahwa bunga ini  memang adalah bunga terakhir yang akan aku berikan padamu." kata Heru sambil menyerahkan sekuntum mawar merah padaku. Entah sejak kapan dia menggenggam bunga itu.
"Nggak Her, kali ini kamu juga akan salah.Karna aku yakin kamu akan sembuh dan baik-baik saja. Dan satu lagi, masih akan ada banyak mawar-mawar lain yang bisa kau berikan padaku!" kataku berusaha meyakinkan Heru walaupun sebenarnya hal ini kulakukan untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku benar-benar takut hal yang paling buruk itu bakal menimpa Heru. Keadaannya makin lama makin melemah. Aku pun sebenarnya nggak yakin Heru akan bisa melewati masa kritisnya. Ini sangat menakutkan bagiku.
"Na... Aku sangat tau bagaimana keadaanku. Aku tau aku nggak mungkin bisa bertahan. Aku merasa aku sudah nggak kuat lagi..." kata-kata Heru tertahan di sini, dia menarik nafas berat berusaha mengumpulkan tenanganya yang masih tersisa. 
"Tapi kau tau, Na, aku bahagia. Aku cukup bahagia karna di saat-saat terakhirku kau mau memaafkan aku dan tersenyum lagi padaku."kata Heru  terbata-bata dan berusaha tersenyum untukku.
"Nggak kamu nggak boleh ngomong gitu, kamu akan sembuh ,Her,percaya padaku."kataku sambil terisak menangis tak mampu lagi menahan jatuh air mataku.
"Ssssttt... Na, aku mohon jangan menangis lagi. Jangan menangis lagi untukku, udah terlalu banyak air mata kamu mengalir karena aku," kata Heru semakin terbata-bata saat melihat air mataku semakin deras mengalir.
"Na, kemari, dekatkan kepalamu padaku,"kata Heru semakin lemah dan setengah berbisik. Akupun menunduk. 

Lebih dekat lagi ,Na,” pinta Heru. Kutundukkan kepalaku lebih dalam lagi. Perlahan sekali Heru berusaha mengangkat kepalanya dan kemudian mengecup keningku. Sedetik kemudian Heru sudah tidak sanggup lagi menahan kepalanya dan menjatuhkannya ke bantal. Saat aku menatapnya, Heru tersenyum amat manis padaku. Begitu damai. Yang terjadi kemudian membuatku hilang akal. Heru memejamkan matanya , alat pendeteksi detak jantung terhenti. Itu terdengar seperti petir di telingaku. Aku berusaha mengguncang-guncang tubuh Heru dan berteriak memanggil namanya. Tapi dia tetap saja terdiam. Aku tak percaya semua ini. Tak kusadari tubuhku sudah terkulai lemas di lantai rumah sakit.

****

Bab 06

Aku terduduk lemas di lantai kamarku dan bersandar di dinding. Ini adalah pemakaman terberat yang pernah kuhadiri. Aku meras seolah-olah jiwa, cinta , dan tubuhku ikut terkubut di dalamnya, Tak henti-hentinya kukutuki diriku sendiri. Mengapa aku tak mau memaafkan Heru sejak dulu? Mengapa aku terlalu angkuh untuk mengakui perasaanku sendiri? Mengapa aku baru mau memaafkan Heru setelah dia semua kejadian ini, di saat semua sudah terlambat? Dan yang lebih membuatku menyesal adalah karna baru sekarang aku menyadari bahwa keangkuhan dan harga diri nggak seharusnya ada diantara cinta. Lamat-lamat terdengar syahdu alunan lagu Backstreet Boys
“ Show me the meaning of being lonely, is this feelingI need walk with. Tell me why I can’t be there where you were There something missing im my heart….”


TAMAT
 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar